Saya pernah mengalami sebuah peristiwa yang lucu “(maaf ini lucu bagi saya)” ketika mengikuti sebuah kegiatan di salah satu kota di luar NTT. Ceritanya ketika saya memperkenalkan diri dan menyebut asal daerah, tiba-tiba ada peserta yang menyela dan bertanya, “Bang…Ende itu dimana sih”. Sayapun menjawab, “tanya di empu google aja bro, pasti nanti anda ketemu kalau Ende itu ada di Manila tetangga-an sama madagaskar”. He…he…Haloooo….hari gini tak tahu letak sebuah daerah. Sedangkan kami yang sekolah udik dari SD kelas 3 sudah disuruh sama guru untuk menghafal nama-nama kota dan letaknya di Propinsi Mana. He..he..,Maaf sekedar intermeso.
Pernahkah anda ke Ende dan bagaimana tanggapan anda tentang Kabupaten Ende? Tentu akan ada ragam jawaban dari pembaca sekalian tentang Kabupaten Ende baik yang sudah pernah maupun yang belum pernah ke Ende.
Nah
bagi yang pernah ke ende, mungkin saja akan memiliki penilaian tersendiri entah
dari segi alamnya, kulinernya, budaya, adat istiadat dan lain sebagainya. Ya..
semuanya sangat tergantung dari penilaian masing-masing dari apa yang dialami
dan apa yang dirasakan.
Tapi kali ini saya tidak menggambarkan tentang bentang alam dan keindahannya ataupun nikmatnya kuliner Ende. Saya mencoba mengungkapkan rasa bangga sebagai seorang warga yang kebetulan lahir, besar dan hidup di Ende. Rasa bangga akan kehidupan sosial masyarakat yang rukun, damai, menjunjung tinggi toleransi dan semangat kekeluargaan.
Ya..,
disinilah yang mungkin sedikit membedakan daerahku dengan beberapa daerah-daerah
lain yang acap kali terlihat dan terdengar gesekan-gesekan karena perbedaan
keyakinan beragama.
Tak
perlu kita memberikan contoh kasus ataupun menyebut satu persatu tentang
masalah-masalah bangsa yang dikarenakan perbedaan dalam kehidupan beragama. Sudah banyak dan
bukan rahasia umum tentang kasus-kasus dalam kehidupan beragama yang bisa
merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
" Toleransi yang diakronimkan
oleh Kementrian Agama Kab. Ende
sebagai ”Tekad Orang Lio Ende
Rukun Aman Nyaman Sejahtera Iklas”.
Jika
mengikuti perkembangan pada media massa ataupun media sosial, apabila ada postingan atau berita yang berkaitan
dengan kasus-kasus keagamaan sangat nampak statement-statement pro kontra dan
bahkan terkesan provokasi. Perang opini pada dunia maya saling bersahutan dan
masing-masing mempertahankan statmennya. Meskipun dipihak lain ada nitizen yang
berusaha menjadi penengah. Namun bukan
tidak mungkin pada dunia nyata statement-statement yang berkaitan dengan
sentimen agama dapat memperkeruh suasana kehidupan masyarakat pada suatu
wilayah.
Saya
coba membayangkan fenomena tersebut seandainya terjadi pada daerah kami di NTT
dan bumi kelimutu (Ende) khususnya. Entah seperti apa nantinya ketika mendeskripsikan
kondisi masyarakatnya. Masyarakat yang selalu menjaga kerukunan dan toleransi yang
bukan karena slogan dari pemerintah, masyarakat yang selalu menjunjung tinggi
adat istiadat dan kebersamaan, mungkinkah dapat tercerai berai hanya karena ego dan sentiment
semata?
Dengan
melihat fenomena demikian muncul pertanyaan-pertanyaan, Apakah dalam satu
komunitas masyarakat yang berbeda keyakinan harus saling bunuh membunuh? Apakah
dalam satu keluarga yang seketurunan, saudara
sekandung, om, tanta, ponakan, kemenakan, bibi, paman, sahabat dan kenalan harus saling menjustice dan mengenyahkan anggota
keluarga yang berbeda keyakinan?.
Ah…Pertanyaan-pertanyaan
ini mungkin hanya sekedar kekhawatiran di alam mimpi dan semoga tidak dibawa pada alam nyata orang Ende
khususnya.
Ya..Ende, daerah pencil yang dulunya sempat menjadi lokasi pembuangan dan permenungan Sang Proklamator dalam mendesain ideologi Negara. Daerah yang tidak pernah dibayangkan oleh Soekarno saat itu sebagai daerah yang sudah majemuk. Dan disinilah keunggulan Ende yang dapat dikatakan sebagai cerminan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebuah
kekayaan lokal yang mungkin sedikit
berbeda dengan daerah lain.
Jauh sebelum agama-agama Ibrahimiah masuk ke negeri ini orang Ende sudah memiliki ideologi lokal yang sama tentang keyakinan ilahiah yang disebut Du’A Ngga’E (Tuhan). Du’A Ngga’E sebagai rasa religiositas lokal dan pengakuan akan adanya wujud Ilahiah yang menguasai jagat raya yaitu Tuhan. Tuhan Yang dalam penuturan adat dengan istilah Du’A Gheta Lulu Wula, Ngga’E Ghale Wena Tana (Tuhan Yang menguasai langit dan bumi).
Jauh sebelum agama-agama Ibrahimiah masuk ke negeri ini orang Ende sudah memiliki ideologi lokal yang sama tentang keyakinan ilahiah yang disebut Du’A Ngga’E (Tuhan). Du’A Ngga’E sebagai rasa religiositas lokal dan pengakuan akan adanya wujud Ilahiah yang menguasai jagat raya yaitu Tuhan. Tuhan Yang dalam penuturan adat dengan istilah Du’A Gheta Lulu Wula, Ngga’E Ghale Wena Tana (Tuhan Yang menguasai langit dan bumi).
Sehingga
ketika hadirnya agama-agama di Ende, masyarakat Ende sudah memiliki
semangat dan nilai Ketuhanan yang sama dalam ikatan adat istiadat yang sudah
menjadi konsensus secara alamiah. Walaupun dalam praktek dan ajarannya berbeda
namun persaudaraan itu yang harus diutamakan. Hubungan kawin mawin, silsilah
dan tradisi kekerabatan tidak hilang dan lenyap karena keyakinan agama. Sehingga
perbedaan keyakinan beragama tidak
menjadi sebuah jurang pemisah dalam kehidupan bermasyarakat dan relasi sosial.
Inilah
kekuatan orang ende yang juga tidak memandang seseorang karena agamanya
atau karena asalnya sebagai ata mai
(pendatang) dan ata mera (warga
asli).
Disinilah
kharismanya alam Ende sebagai miniatur kehidupan bangsa yang majemuk dan mengilhamkan
Presiden Bungkarno untuk mendesain ideologi Bangsa ini. Dalam satu klan, dalam
satu keluarga besar ataupun dalam satu hunian bisa berbeda keyakinan. Namun relasi
antar sesama tetap rukun dan damai.
Tak heran jika di Ende Soekarno belajar dan mempertajam naluri kemanusiaannya tentang
perbedaan dalam hidup dan kehidupan dan menjadi sebuah legenda bangsa. Inilah
yang menjadi kebanggaan bagi orang Ende.
Soekarno-pun
ketika melakukan kunjungannya ke Ende tahun 1952 merasa dirinya orang Ende
dengan ungkapannya saat itu “Ja’o Ata
Ende”! (Saya orang Ende)!". Begitu pekik pembuka nan lantang dari Bung
Karno saat melawat ke Ende sebagai Presiden RI, tahun 1952.
Sehingga
ketika kami mengatakan kami bangga karena berbeda, ya itulah kami orang ende..dimanapun
kami berada, kami selalu menjunjung tinggi semangat kekeluargaan dan
persaudaraan. Semangat yang tidak dapat dinilai dengan materi ataupun harta
benda tapi semangat karena sebagai sesama makhluk Tuhan yang lahir dari mani
dan rahim yang sama yaitu Adam dan Hawa.
Maka
dari itu bukan sekedar ikut-ikutan ketika Pemerintah Kabupaten Ende menjadikan
kota Ende sebagai kota Toleransi. Bukan
hanya sekedar slogan semata ataupun bukan sebagai hal yang berbau ikonik. Toleransi yang diakronimkan oleh
Kementrian Agama Kab. Ende sebagai ”Tekad
Orang Lio Ende Rukun Aman Nyaman Sejahtera Iklas”. Slogan yang bukan hanya indahnya rangkain kata
dalam suatu kalimat, tapi dalam diri orang Ende, terpatri tekad yang kuat untuk
hidup dengan rukun sekalipun di tengah perbedaan.
SAYA
BANGGA MENJADI ORANG ENDE.
OLEH : X-SAN D.
Ende Rahim Pancasila.
BalasHapusDisana tempat lahir beta..
BalasHapusIndah, semoga selalu indah :) persaudaraan yang saling menghormati perbedaan
BalasHapusTerima kasih atas kunjungan dan komentarnya. Demikianlah kehidupan sosial masyarakat di Ende Flores.
BalasHapusUlasannya inspiratif dan menarik. Teruslah berkarya teman! Karena menulis adalah karya untuk keabadian.
BalasHapus