Di suatu waktu
disebuah daerah terpencil yang masih jauh dari keramaian dan hiruk pikuk
kendaraan, belum ada fasilitas kesehatan apalagi tenaganya, terlahir seorang
bayi dengan bantuan dukun kampung yang hanya memiliki pengetahuan tentang ramuan-ramuan tradisional hingga ia besar.
Itulah saya yang terlahir dan dibesarkan di suatu kampung, bagian dari daerah kabupaten Ende NTT . Makan dari umbi-umbian dan minum air yang masih jernih, Bermain dengan permainan tradisonal dengan mobil-mobilan yang dibuat sendiri , belajar dengan lingkungan kampung, diperkenalkan tentang nilai-nilai dan filosofi keagamaan, adat istiadat, kekerabatan, gotong royong, tolong-menolong dan berbagai nilai-nilai kehidupan sosial serta alam lingkungan.
Itulah saya yang terlahir dan dibesarkan di suatu kampung, bagian dari daerah kabupaten Ende NTT . Makan dari umbi-umbian dan minum air yang masih jernih, Bermain dengan permainan tradisonal dengan mobil-mobilan yang dibuat sendiri , belajar dengan lingkungan kampung, diperkenalkan tentang nilai-nilai dan filosofi keagamaan, adat istiadat, kekerabatan, gotong royong, tolong-menolong dan berbagai nilai-nilai kehidupan sosial serta alam lingkungan.
Di suatu waktu terjadi sebuah demo mahasiswa di ibukota
negara dan berujung bentrok antara
kelompok pendemo dan aparat keamanan. Lalu dalam media sosial saya mengikuti
pemberitaan dan komentar yang
ramai membahas fenomena demo yang berujung penagkapan tersebut. Namun dari beberapa komentar yang
muncul ada sebuah komentar yang
sedikit menarik perhatian saya dengan kalimatnya “para pendemo itu kampungan”.
Sontak mata saya yang sedang membaca
berita di smartphone terhenti sejenak. Lalu muncul sebuah pertanyaan, “Apa iya tindakan
mahasiswa itu tercermin dari watak kampungan?”. Lalu bagaimanakah hubungan
antara kampung dan kampungan. Dan apakah kata kampung itu selalu di identikan dengan kampungan ?
Sembari termenung, saya mencoba memainkan jari
saya untuk mencari literatur tentang kampung dan kampungan pada bank kata dan
kalimat yaitu bang goole. Memang sempat menemukan beberapa penjelasan tentang kedua
kata tersebut.
Nqmun kata kampung yang ditemukan pada mr. google
banyak pemaknaan. Sehingga saya ingin memberikan pemaknaan sendiri. Kata kampung
dapat diartikan sebagai sebuah wilayah yang ada di pedesaan dan dihuni oleh sekelompok
masyarakat yang masih terikat dalam satu kesatuan adat istiadat.
Sedangkan term kampungan memang sangat sering kita dengar dan
biasanya digunakan untuk menilai orang yang berperilaku negatif seperti sering
berbuat onar, anarkistik ataupun orang-orang yang berbuat bodoh.
Kampung-an berasal dari kata “kampung” yang dibubuhi dengan akhiran-“an”. Sehingga diartikan bersifat orang kampung. Sedangkan kata kampung selalu dianalogikan dengan keterbelakangan, belum terdidik, bodoh atau kolot, (silahkan dikritik bila salah dalam menjeremahkan arti kata ini).
Kemudian dalam KBBI (2008: 228) kata ”kampungan”
didefinisikan sebagai hal yang : 1.
berkaitan dengan kebiasaan di kampung; terbelakang (belum modern); kolot; 2.
tidak tahu sopan santun; tidak terdidik; kurang ajar; berandalan.
Seperti itulah KBBI menerjemahkan tentang kampung
dengan orang-orang yang hidup di kampung. Sehingga ketika ada ungkapan terkait “kampungan” maka itu merupakan cerminan sifat
orang-orang dari kampung.
Namun pertanyaannya apakah tindakan-tindakan negatif seperti tidak sopan, tidak terdidik, kurang ajar, berandalan,
berbuat onar, bodoh dan terbelakang harus selalu dianalogikan dengan status
wilayah yang bernama kampung?. Rasanya berlebihan dan kebablasan deh penilaian
seperti itu.
Kami adalah salah satu anak kampung yang kebetulan
sempat melalang buana ke daerah kota dan kembali menetap di kampung. Namun di kampung tidak melulu warganya itu
berprilaku negatif seperti yang didefenisikan dalam KBBI. Jika diperdebatkan justru warga-warga di kampunglah yang masih mencerminkan perilaku
budaya nusantara yang tetap terjaga hingga saat ini. Seperti adat istiadat dan tata budaya, sikap toleransi,
budaya gotong royong, tata krama dan sopan santun yang baik, interaksi antar
warga dan semangat kekeluargaan yang masih terjaga. Dan mungkin hal-hal seperti
teresebut di atas hanya di temui di kampung-kampung ketimbang di kota.
BACA JUGA : MENGENAL DIRI DALAM FILOSOFI HIDUP SUKU ENDE LIO
Ya…betul..orang-orang di kampung memang masih
jauh dari perkembangan modernisasi ataupun dapat dikatakan masih terebelakang
bila dibandingkan dengan kota. Namun tindakan asosial ataupun perilaku negatif
tidak harus melulu dianalogikan dengan watak orang kampung.
Terbelakangnya orang kampung menurut kami karena sistem yang belum berkeadilan sosial. Sistem yang masih timpang dalam memajukan orang-orang kampung. Mungkin perlu diingat bahwa kota-kota yang ada saat ini awal mulanya berasal dari kampung.
Terbelakangnya orang kampung menurut kami karena sistem yang belum berkeadilan sosial. Sistem yang masih timpang dalam memajukan orang-orang kampung. Mungkin perlu diingat bahwa kota-kota yang ada saat ini awal mulanya berasal dari kampung.
Benar.. kami memang orang kampung. Namun kami
justu bersyukur karena hidup dikampung. Andaikan modernisasi itu terbangun mulai dari kampung,
mungkin pola pikir dan gaya hidup warga kampung pun akan sama dengan gaya hidup
dan pola pikir warga kota. Mungkin orang-orang kampug akan bersikap
individualis, mungkin juga tidak akan ada lagi interaksi hangat antar sesama
warganya, atau bisa juga budaya gotong royong dan semangat kekeluargaan sudah
hilang apalagi rasa peduli sesama dan
potensi alamnya sudah hilang ditelan pembangunan. Disitulah yang membuat kami
bangga menjadi orang kampung.
Namun patut disayangkan jika kamus Bahasa ibu
negara ini saja masih mendiskriminasikan orang kampung. Mungkin penulisnya lupa
dan tidak mengetahui kalau semangat gotong royong dan rasa solidaritas di
kampung itu cukup tinggi. Bahkan hal tersebut berlaku juga dengan orang-orang kampung yang kebetulan merantau
di perkotaan. Lihatlah paguyuban-paguyuban atau ikatan-ikatan kekeluargaan yang
dibentuk oleh orang kampung yang ada diperkotaan. Tujuannya adalah memupuk
semangat solidaritas dan kekeluargaan dari sesama orang kampung.
Ah…andaikan saja tanpa kampung dan orang-orang kampung sudah tidak mau bertani
ataupun berladang mungkinkah kehidupan di kota akan terpasok dengan hasil bumi yang berasal dari kampung?.
Mungkinkah nilai-nilai budaya masih ada dalam perjalanan peradaban bangsa? .
Sedangkan jika kita mengikuti perkembangan terkini, hampir setiap
hari kita melihat dan mendengar berita kasus korupsi, peredaran narkoba yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu
lalu apakah mereka-mereka itu orang kampung?
Lalu Apakah saya yang dari kampung, lantas dengan
sendirinya harus mendapat julukan kampungan?
Disinilah yang perlu dilakukan suatu pemilahan
dalam segi pemaknaan antara kampung dan kampungan.
Yang pertama kampung menunjuk pada sisi
geografis atau lokasi dimana seseorang itu tinggal dengan adat budayanya. Yang kedua “kampungan” lebih menunjukkan suatu sikap yang “uncivilized” atau “uneducated” yaitu sikap negatif yang ditunjukan dan tidak mengenal orang itu
dari kota maupun dari kampung.
Sehingga dari pemikiran diatas, tindakan negatif yang
dilakukan seseorang tidak tepat kalau selalu diidentikan dengan kampungan hanya berdasarkan geografis.
Saya pun bertanya-tanya apakah korupsi yang terjadi selama ini adalah bagian dari sikap kampungan? Rasa-rasanya, praktek
korupsi itu bukanlah praktek yang beradab, tapi justru jijik dan menjijikan.
kalau korupsi itu praktek yang uncivilized, berarti pelaku-pelaku korupsi itu
baik di kota maupun di desa, adalah orang-orang yang kampungan banget. Bisa jadi
mobil mewah, rumah yang megah, perhiasan mahal dihasilkan dari mentalitas
kampungan mereka.
Dengan kondisi yang demikian mungkin bagi kita orang kampung tidak perlu bersedih hati hanya karena tinggal di kampung
ataupun berasal dari kampung. Harusnya orang kampung patut berbanggga karena budaya dan adat istiadat Nusantara masih tetap terjaga
dan semuanya hanya dapat ditemui di kampung-kampung.
Kalaupun ada di kota mungkin hanya sebagai simbol untuk diperkenalkan, dipamerkan atau sebagai sebuah miniatur.
Maka dari itu bagi kita orang kampung sudah saatnya kita
bangkit. Tatalah kampung kita masing-masing dengan baik. Bangunlah jiwa-jiwa
entrepreneur untuk para pemuda kampung agar menjadi generasi dengan karaktek
yang tegas dan kuat, bukan generasi yang pintar mengeluh. Buatlah Kampung kalian harus bersih sebersih alam yan gmasih
hijau. Bangun pula jiwa-jiwa kritis yang tidak mau dibodohi oleh orang-orang
yang ngakunya pintar tapi justru membodohi. Belajarlah setingi-tingginya kapanpun
dan dimanaupun agar kampung tidak lagi diidentikan dengan keterbelakangan.
Rawatlah nilai-niali kearifan yang ada dikampung agar tidak punah ditelan
zaman. Sehingga yang bisa menjaga dan mengembangkan potensi-potensi yang ada di
kampung hanyalah orang-orang kampung. Kalaupun ada orang dari luar kampung
mungkin hanya sebagai mediator bukan sebagai subyek dan obyek dari kampung itu
sendiri.
OLEH : X-SAN . D
Disadur kembali dari athanua wordpress.com
Betul na, istilah kampungan itu harus kita ubah ... Orang kampung justru lebih punya tata Krama.
BalasHapusNa itu sdh. Apakah yg tdk ber tatakrama itu hny orang kampung atau org yg dri kampung. Kesannya kurang fair
BalasHapus