Istana Raja Ndona (Bhaki Bani) di Wolowona (Sumber : Collectie Tropenmuseum) |
Menelusuri jejak Islam di Ndona maka pengkajiannya tidak
terlepas dari sejarah masuknya Agama Islam di Pulau Flores dan Ende
khususnya. Tulisan ini hanya mencoba untuk menelusuri lembaran peristiwa masa
lampau yang masih menjadi misteri. Ulasan kecil ini juga bukan untuk membuat suatu
pertentangan ataupun klaim tentang Agama mana yang lebih dahulu masuk ke Pulau Flores
ataupun di Kabupaten Ende maupun di Ndona khususnya.
Konteks uraiannya adalah merajut benang sejarah yang masih tercecer yang seharusnya diwariskan kepada setiap generasi. Namun minimnya literatur dan penuturan-penuturan lisan sehingga tulisan ini masih dalam konteks menggali atau menelusuri jejak masuknya agama Islam di Ndona.
Konteks uraiannya adalah merajut benang sejarah yang masih tercecer yang seharusnya diwariskan kepada setiap generasi. Namun minimnya literatur dan penuturan-penuturan lisan sehingga tulisan ini masih dalam konteks menggali atau menelusuri jejak masuknya agama Islam di Ndona.
Masjid Al-Bai'Ah Wolowona |
Memang pada sisi lain jejak
peradaban Islam di Ende-pun belum terungkap dengan jelas dan terdapat ragam
cerita. Namun ini hanyalah langkah awal untuk memulai sebuah pengkajian bagi
setiap pihak yang concern dengan history peradaban.
Karena itu, kami-pun mengharapkan jika ada pembaca yang dapat
memberikan kontribusi pemikiran ataupun ikut menyulam alur sejarah yang masih
tercecer tentang peradaban Agama baik di Pulau Flores, Kabupaten Ende ataupun
di Ndona khususnya agar dapat diketahui benang merah dari peradaban Agama Islam
di Ndona.
Dari beberapa sumber yang dihimpun bahwa sekitar abad ke 15 Agama Islam masuk pertama kali di
Nusa Tenggara Timur disebar oleh seorang ulama dari Palembang yang bernama
Syahbudin bin Salman Al Faris yang dikenal dengan nama Sultan Menanga. Ia
kemudian melakukan ekspansi ke Ende, Alor hingga ke Sumba.
Mengutip hasil penelitian dari penulis buku tentang sejarah Islam di
NTT, Munandjar Widiyatmika bahwa agama Islam sudah hadir di Ende dan Pulau Flores sekitar abad ke-15 atau sekitar tahun 1500-an.
Masjid Baiturahman Kanakera Kelurahan Onelako Ndona |
Dalam Buku Kapita
Selecta NTT, 2007, tertulis, bahwa
pada abad ke 19, Kerajaan Ende, Nangapanda dan Ndona telah menjadi kerajaan
Islam. Raja dan para penduduknya telah memeluk agama Islam. Jika ditelusuri
maka data tersebut berpijak pada tahun era 1900-an dimana para penduduk yang
berada di pesisir pantai dan sekitarnya sudah memeluk agama Islam dan saat itu
sudah terjadi gesekan-gesekan antara masyarakat dengan penjajah Belanda (VOC).
Namun jika mengikuti ulasan Satoshi yang mengemukakan bahwa pada abad ke 15 Ende
sudah menjadi kerajaan Islam. Pendiri kerajaan Ende adalah seorang pria dari
Jawa. Beliau menikahi puteri tuan tanah di Ende. Sehingga ia diberi kekuasaan
dan hak-hak atas beberapa tanah Ende oleh ayahnya mertuanya. Kemudian ia
mendirikan dinasti Ende (Kerajaan Ende). Ia adalah raja pertama bernama Djari
Jawa sekitar abad 15. Nama asli Djari Djawa adalah Raden Husen Djajadinigrat,
seperti nama Islam Jawa.
Masjid an-Nur Nuakota Desa Manulondo Ndona |
Pada masa ini, kerajaan Ende
berdiri secara tradisional tanpa sentuhan pengaruh penjajah. Namun kerajaan ini
tidak berkembang karena sistem kerajaan yang pada waktu itu tidak dikelola
dengan baik, sehingga terjadi kemunduran dalam waktu yang cukup lama. Di masa
1800 Indradewa kembali menghidupkan Kerajaan Ende dan membangun hubungan dengan
beberapa kerajaan terdekat seperti kerjaan Bima, Gowa dan Bugis.
Meskipun terdapat perbedaan versi
namun dapat dikatakan bahwa dimasa tersebut Islam sudah berkembang di Ende
dan dimasa itu pula telah terjadi hubungan antara masyarakat setempat.
Sementara itu FX. Sunaryo dalam hasil risetnya mengemukakan
bahwa pada tahun 1614 di Pulau Ende sebagian
penduduknya bergama Kristen. Kemudian terjadi penculikan terhadap tokoh
masyarakat setempat yang menjadi pemimpin umat kristen di Pulau Ende saat itu.
Mereka yang diculik yaitu Salvador Carvalhaes, seorang guru agama, Pedro carvalhaes (pemimpin umat), dan Manuel da Lima (berusia 40 tahun) juga pemimpin umat. Ketiganya diculik oleh umat Islam
Pulau Ende dan dibuang ke Volowona (Wolowona) yang berada dalam wilayah Ndona. Di sana
orang-orang Islam
yang ada di Wolowona memaksa ketiganya agar membuang agama mereka dan masuk agama Islam. (Sejarah
Kota Ende, FX Soenaryo dkk, 2006 ).
Dari ulasan di atas apakah
dapat dikatakan bahwa Islam sudah ada di Ndona sebelum tahun 1614?. Mungkin jawaban
sementara bisa saja dikatakan demikian.
Umat Islam di Masjid Baiturahman Kanakera Ndona |
Pada masa politik etis,
Belanda mengangkat seorang Raja untuk landskap
Ndona. Bhaki Bani yang beragama
Islam (dalam versi Belanda Mbaki Bani)
ditunjuk sebagai Raja Ndona. Penunjukan Raja Bhaki Bani ini dibuktikan dengan dokumen Belanda bernomor Id. 10 Oktober
1917 No.21 dengan munguasai Landscap Ndona.
Dari penuturan para
tetua umat muslim Ndona, mengatakan
bahwa masjid yang berdiri pertama kali di Ndona yaitu di Wolowona yang saat itu
menjadi pusat kerajaan Ndona. Jika dibulan Ramadhan setelah shalat Maghrib para
orang tua dan pemuda dari beberapa kampung yang ada di Ndona akan menuju ke
Wolowona untuk melaksanakan shalat tarawih. Meskipun harus berjalan kaki dengan
menempuh jarak kurang lebih 3 km, namun karena di Wolowona sudah banyak orang-orang
yang lebih memahami tentang agama Islam sehingga mereka lebih memilih tarawih
di Wolowona.
Di Masjid Wolowona sambil
menunggu sahur mereka biasanya mendengar
tauziah, belajar tentang Agama Islam ataupun membaca diba-an maupun berdzikir
hingga menjelang sahur baru mereka kembali ke rumahnya masing-masing.
Setelah itu berdiri
satu buah Musholah di Nualolo yang selanjutnya di robohkan. Lalu didirikan pula
Musholah di Nuakota dan berlanjut ke beberapa tempat yang ada di Ndona yang bangunannya
masih utuh hingga kini.
Namun uraian singkat di
atas belum menjadi suatu kesimpulan sebagai suatu jawaban atas misteri jejak
peradaban agama islam di Ndona. Masih perlu sebuah usaha untuk mengungkap
kembali jejak-jejak yang masih kabur. Dengan ketiadaan dokumen-dokumen
pendukung maupun minimnya pengetahuan lisan diperlukan pikiran bersama untuk
menjadikan suatu dokumen pewaris bagi generasi yang akan datang.
Sebagai penutup saya
coba mengutip kata-kata Daniel Dhakidae bahwa beberapa saran kecil sebagai
pegangan bagi kita untuk mengkaji berdasarkan pengalaman sederhana dalam
meneliti local history di satu
wilayah kecil. Oral history (tuturan lisan) adalah salah satu sumber terbesar
dalam meneliti masalah sejarah.
Umat Islam di Ndona melaksanakan shalat Idul Fitrih |
Namun oral history perlu dipakai dengan ekstra
hati-hati. Nilai positif dari oral history adalah rekaman yang berada di dalam collective memory dari masyarakat yang
boleh dikatakan “tidak memiliki sejarah”. Namun, collective memory tersimpan dengan rapih dalam beberapa tempat
berikut ini:
Individu-individu yang
tua maupun yang muda karena masing-masing memperoleh warisan tradisi lisan
turun-temurun. Meskipun boleh dikatakan bahwa semua memiliki itu akan tetapi
para local genius adalah orang-orang
yang karena pengetahuan dan wibawa adat bisa diandalkan sebagai sumber yang
bisa dipegang. Dengan demikian local
knowledge bisa dimanfaatkan dengan seefektif mungkin. Di sini pun perlu
hati-hati karena wibawa pengetahuan seorang narasumber lokal tidak cukup,
karena harus disertai pula oleh wibawa moral sehingga reliabilitas bisa menjadi
pegangan para peneliti (Daniel Dhakidae budayawan dan peneliti senior dari NTT)
Judul yang agak nyeleneh
di atas semata-mata bertolak dari keangkuhan bahwa sejarah hanya dalam bentuk
tertulis, sedangkan sejarah lisan sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Meskipun kita menolak keangkuhan ini, namun satu kenyataan sama sekali tidak
bisa ditolak karena, sejauh pengetahuan
saya, di luar itu tidak ada kelompok
masyarakat Ndona yang memiliki dokumen tertulis. Yang tersedia semata-mata oral history.
Jejak peradaban agama Islam di Ndona memang tidak terdokumentasi dengan baik namun Islam di Ndona sudah
berkembang dan telah membaur dengan kehidupan masyarakat setempat. Meskipun dalam masyarakat
Ndona yang berbeda secara keyakinan agama, namun kehidupan umat beragama di Ndona
tepalah harmonis. Dalam aktifitas sosial kemasyarakatn dan acara-acara
keagamaan atau pembangunan rumah ibadah sesama umat beragama tetap saling bahu
membahu.
Keren kak, dengan mengetahui sejarah kita bisa banyak belajar dari para pendahulu kita bagaimana persaudaraan dan toleransi tetap terjaga 😁
BalasHapusBanyak hal yang perlu ditelusuri termasuk dengan sejarah perkembangan suatu agama. dengan mengetahui sejarahnya maka kitapun bisa mengetahui seluk beluk diri kita sendiri. Terima kasih atensinya
Hapus