Minggu, 16 Desember 2018

MENAPAKI JEJAK ISLAM DI NDONA

Istana Raja Ndona (Bhaki Bani) di Wolowona (Sumber : Collectie Tropenmuseum)


Menelusuri jejak Islam di Ndona maka pengkajiannya tidak terlepas dari sejarah masuknya Agama Islam di Pulau Flores dan  Ende khususnya.   Tulisan ini  hanya    mencoba   untuk menelusuri lembaran  peristiwa masa lampau yang masih menjadi misteri. Ulasan kecil ini juga bukan  untuk membuat suatu pertentangan ataupun klaim tentang Agama mana yang lebih dahulu masuk ke Pulau Flores ataupun di Kabupaten Ende maupun di Ndona khususnya. 

Konteks uraiannya adalah merajut benang sejarah yang masih tercecer yang seharusnya diwariskan kepada setiap generasi. Namun minimnya literatur dan penuturan-penuturan lisan sehingga tulisan ini masih dalam konteks menggali atau menelusuri jejak masuknya agama Islam di Ndona.

Masjid Al-Bai'Ah Wolowona

Memang pada sisi lain jejak peradaban Islam di Ende-pun belum terungkap dengan jelas dan terdapat ragam cerita. Namun ini hanyalah langkah awal untuk memulai sebuah pengkajian bagi setiap pihak yang concern dengan history peradaban.

Karena itu, kami-pun  mengharapkan jika ada pembaca yang dapat memberikan kontribusi pemikiran ataupun ikut menyulam alur sejarah yang masih tercecer tentang peradaban Agama baik di Pulau Flores, Kabupaten Ende ataupun di Ndona khususnya agar dapat diketahui benang merah dari peradaban Agama Islam di Ndona.

Dari beberapa sumber  yang dihimpun  bahwa sekitar abad ke 15 Agama Islam masuk pertama kali di Nusa Tenggara Timur disebar oleh seorang ulama dari Palembang yang bernama Syahbudin bin Salman Al Faris yang dikenal dengan nama Sultan Menanga. Ia kemudian melakukan ekspansi ke Ende, Alor hingga ke Sumba.
Mengutip hasil penelitian dari penulis buku tentang sejarah Islam di NTT, Munandjar Widiyatmika bahwa agama Islam sudah hadir di Ende  dan Pulau Flores sekitar abad ke-15  atau sekitar tahun 1500-an.
 
Masjid Baiturahman Kanakera Kelurahan Onelako Ndona
Penyebaran agama Islam ini juga dilakukan ulama-ulama pedagang dari Arab, Jawa,  Bima, Ternate dan Sulawesi (Bugis, Bone, Gowa). Mereka kemudian berbaur dan tinggal dengan penduduk  setempat dan menyebarkan agama Islam hingga sampai ke Wolowona dan Ndona. Tidak diketahui persis siapa yang membawa agama Islam di Ndona dan siapa yang pertama kali memeluk agama islam di Ndona. Namun dari penuturan turun temurun bahwa sejak dahulu kala orang Ndona sudah menjalin hubungan kerja sama dengan orang Ende dan sudah ada penduduk yang beragama Islam.

Dalam Buku Kapita Selecta NTT, 2007, tertulis,  bahwa pada abad ke 19, Kerajaan Ende, Nangapanda dan Ndona telah menjadi kerajaan Islam. Raja dan para penduduknya telah memeluk agama Islam. Jika ditelusuri maka data tersebut berpijak pada tahun era 1900-an dimana para penduduk yang berada di pesisir pantai dan sekitarnya sudah memeluk agama Islam dan saat itu sudah terjadi gesekan-gesekan antara masyarakat dengan penjajah Belanda (VOC).

Namun jika mengikuti ulasan  Satoshi yang mengemukakan bahwa pada abad ke 15 Ende sudah menjadi kerajaan Islam. Pendiri kerajaan Ende adalah seorang pria dari Jawa. Beliau menikahi puteri tuan tanah di Ende. Sehingga ia diberi kekuasaan dan hak-hak atas beberapa tanah Ende oleh ayahnya mertuanya. Kemudian ia mendirikan dinasti Ende (Kerajaan Ende). Ia adalah raja pertama bernama Djari Jawa sekitar abad 15. Nama asli Djari Djawa adalah Raden Husen Djajadinigrat, seperti nama Islam Jawa.



Masjid an-Nur Nuakota Desa Manulondo Ndona
Pada masa ini, kerajaan Ende berdiri secara tradisional tanpa sentuhan pengaruh penjajah. Namun kerajaan ini tidak berkembang karena sistem kerajaan yang pada waktu itu tidak dikelola dengan baik, sehingga terjadi kemunduran dalam waktu yang cukup lama. Di masa 1800 Indradewa kembali menghidupkan Kerajaan Ende dan membangun hubungan dengan beberapa kerajaan terdekat seperti kerjaan Bima, Gowa dan Bugis.

Meskipun terdapat perbedaan versi namun dapat  dikatakan bahwa dimasa tersebut Islam sudah berkembang di Ende dan dimasa itu pula telah terjadi hubungan antara masyarakat setempat.
Sementara itu FX. Sunaryo dalam hasil risetnya mengemukakan bahwa pada tahun 1614 di Pulau Ende sebagian penduduknya bergama Kristen. Kemudian terjadi penculikan terhadap tokoh masyarakat setempat yang menjadi pemimpin umat kristen di Pulau Ende saat itu. Mereka yang diculik yaitu Salvador Carvalhaes, seorang guru agama, Pedro carvalhaes (pemimpin umat), dan Manuel da Lima (berusia 40 tahun) juga pemimpin umat. Ketiganya diculik oleh umat Islam Pulau Ende dan dibuang ke Volowona (Wolowona) yang berada dalam wilayah Ndona. Di sana orang-orang Islam yang ada di Wolowona memaksa ketiganya agar membuang agama mereka dan masuk agama Islam. (Sejarah Kota Ende, FX Soenaryo dkk, 2006 ).

Dari ulasan di atas apakah dapat dikatakan bahwa Islam sudah ada di Ndona sebelum tahun 1614?. Mungkin jawaban sementara bisa saja dikatakan demikian.

Umat Islam di Masjid Baiturahman Kanakera Ndona

Pada masa politik etis, Belanda mengangkat seorang Raja untuk landskap Ndona. Bhaki Bani yang beragama Islam (dalam versi Belanda Mbaki Bani) ditunjuk sebagai Raja Ndona. Penunjukan Raja Bhaki Bani ini dibuktikan  dengan dokumen Belanda bernomor Id. 10 Oktober 1917 No.21 dengan munguasai Landscap Ndona.

Dari penuturan para tetua umat muslim  Ndona, mengatakan bahwa masjid yang berdiri pertama kali di Ndona yaitu di Wolowona yang saat itu menjadi pusat kerajaan Ndona. Jika dibulan Ramadhan setelah shalat Maghrib para orang tua dan pemuda dari beberapa kampung yang ada di Ndona akan menuju ke Wolowona untuk melaksanakan shalat tarawih. Meskipun harus berjalan kaki dengan menempuh jarak kurang lebih 3 km, namun karena di Wolowona sudah banyak orang-orang yang lebih memahami tentang agama Islam sehingga mereka lebih memilih tarawih di Wolowona. 

Di Masjid Wolowona sambil menunggu sahur  mereka biasanya mendengar tauziah, belajar tentang Agama Islam ataupun membaca diba-an maupun berdzikir hingga menjelang sahur baru mereka kembali ke rumahnya masing-masing.

Setelah itu berdiri satu buah Musholah di Nualolo yang selanjutnya di robohkan. Lalu didirikan pula Musholah di Nuakota dan berlanjut ke beberapa tempat yang ada di Ndona yang bangunannya masih utuh hingga kini.

Namun uraian singkat di atas belum menjadi suatu kesimpulan sebagai suatu jawaban atas misteri jejak peradaban agama islam di Ndona. Masih perlu sebuah usaha untuk mengungkap kembali jejak-jejak yang masih kabur. Dengan ketiadaan dokumen-dokumen pendukung maupun minimnya pengetahuan lisan diperlukan pikiran bersama untuk menjadikan suatu dokumen pewaris bagi generasi yang akan datang.

Sebagai penutup saya coba mengutip kata-kata Daniel Dhakidae bahwa beberapa saran kecil sebagai pegangan bagi kita untuk mengkaji berdasarkan pengalaman sederhana dalam meneliti local history di satu wilayah kecil.  Oral history (tuturan lisan) adalah salah satu sumber terbesar dalam meneliti masalah sejarah.
Umat Islam di Ndona melaksanakan shalat Idul Fitrih
Namun oral history perlu dipakai dengan ekstra hati-hati. Nilai positif dari oral history adalah rekaman yang berada di dalam collective memory dari masyarakat yang boleh dikatakan “tidak memiliki sejarah”. Namun, collective memory tersimpan dengan rapih dalam beberapa tempat berikut ini:

Individu-individu yang tua maupun yang muda karena masing-masing memperoleh warisan tradisi lisan turun-temurun. Meskipun boleh dikatakan bahwa semua memiliki itu akan tetapi para local genius adalah orang-orang yang karena pengetahuan dan wibawa adat bisa diandalkan sebagai sumber yang bisa dipegang. Dengan demikian local knowledge bisa dimanfaatkan dengan seefektif mungkin. Di sini pun perlu hati-hati karena wibawa pengetahuan seorang narasumber lokal tidak cukup, karena harus disertai pula oleh wibawa moral sehingga reliabilitas bisa menjadi pegangan para peneliti (Daniel Dhakidae budayawan dan peneliti senior dari NTT)

Judul yang agak nyeleneh di atas semata-mata bertolak dari keangkuhan bahwa sejarah hanya dalam bentuk tertulis, sedangkan sejarah lisan sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan. Meskipun kita menolak keangkuhan ini, namun satu kenyataan sama sekali tidak bisa ditolak karena, sejauh  pengetahuan saya,  di luar itu tidak ada kelompok masyarakat Ndona yang memiliki dokumen tertulis. Yang tersedia semata-mata oral history.

Jejak peradaban agama Islam di Ndona memang tidak terdokumentasi dengan baik namun Islam di Ndona sudah berkembang dan telah membaur dengan kehidupan masyarakat setempat. Meskipun dalam masyarakat Ndona yang berbeda secara keyakinan agama, namun kehidupan umat beragama di Ndona tepalah harmonis. Dalam aktifitas sosial kemasyarakatn dan acara-acara keagamaan atau pembangunan rumah ibadah sesama umat beragama tetap saling bahu membahu.




2 komentar:

  1. Keren kak, dengan mengetahui sejarah kita bisa banyak belajar dari para pendahulu kita bagaimana persaudaraan dan toleransi tetap terjaga 😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Banyak hal yang perlu ditelusuri termasuk dengan sejarah perkembangan suatu agama. dengan mengetahui sejarahnya maka kitapun bisa mengetahui seluk beluk diri kita sendiri. Terima kasih atensinya

      Hapus