Sabtu, 01 Desember 2018

KAMPUNGAN; APAKAH SELALU IDENTIK DENGAN KAMPUNG?




Di suatu waktu  disebuah daerah terpencil yang masih jauh dari keramaian dan hiruk pikuk kendaraan, belum ada fasilitas kesehatan apalagi tenaganya, terlahir seorang bayi  dengan bantuan dukun kampung yang hanya memiliki pengetahuan tentang ramuan-ramuan tradisional hingga ia besar.
Itulah saya yang terlahir  dan dibesarkan di suatu kampung, bagian dari daerah kabupaten  Ende NTT . Makan dari umbi-umbian dan minum air yang masih jernih, Bermain dengan permainan tradisonal dengan mobil-mobilan yang dibuat sendiri , belajar dengan lingkungan kampung, diperkenalkan tentang nilai-nilai dan filosofi keagamaan, adat istiadat, kekerabatan, gotong royong, tolong-menolong dan berbagai nilai-nilai kehidupan sosial serta alam lingkungan.

Di suatu waktu terjadi sebuah demo mahasiswa di ibukota negara dan  berujung bentrok antara kelompok pendemo dan aparat keamanan. Lalu dalam media sosial saya mengikuti pemberitaan  dan komentar yang  ramai membahas fenomena demo yang berujung penagkapan  tersebut. Namun dari beberapa komentar yang muncul ada sebuah komentar  yang sedikit menarik perhatian saya dengan kalimatnya “para pendemo itu kampungan”. Sontak mata saya yang sedang  membaca berita di smartphone terhenti sejenak. Lalu muncul sebuah pertanyaan, “Apa iya tindakan mahasiswa itu tercermin dari watak kampungan?”. Lalu bagaimanakah hubungan antara kampung dan kampungan. Dan apakah kata kampung  itu selalu di identikan dengan kampungan ?

Sembari termenung, saya mencoba memainkan jari saya untuk mencari literatur tentang kampung dan kampungan pada bank kata dan kalimat yaitu bang goole. Memang sempat menemukan beberapa penjelasan tentang kedua kata tersebut.
Nqmun kata kampung yang ditemukan pada mr. google banyak pemaknaan. Sehingga saya ingin memberikan pemaknaan sendiri. Kata kampung dapat diartikan sebagai sebuah wilayah yang ada di pedesaan dan dihuni oleh sekelompok masyarakat yang masih terikat dalam satu kesatuan adat istiadat.
Sedangkan term  kampungan memang sangat sering kita dengar dan biasanya digunakan untuk menilai orang yang berperilaku negatif seperti sering berbuat onar, anarkistik ataupun orang-orang yang berbuat bodoh.


Kampung-an berasal dari kata kampung yang dibubuhi dengan akhiran-“an”. Sehingga diartikan bersifat orang kampung. Sedangkan  kata  kampung selalu dianalogikan dengan keterbelakangan, belum terdidik, bodoh atau kolot, (silahkan dikritik bila salah dalam menjeremahkan arti kata ini).
Kemudian dalam  KBBI (2008: 228) kata kampungan didefinisikan sebagai hal yang : 1. berkaitan dengan kebiasaan di kampung; terbelakang (belum modern); kolot; 2. tidak tahu sopan santun; tidak terdidik; kurang ajar; berandalan.

Seperti itulah KBBI menerjemahkan tentang kampung dengan orang-orang yang hidup di kampung. Sehingga  ketika ada ungkapan terkait  “kampungan” maka itu merupakan cerminan sifat orang-orang dari kampung.

Namun pertanyaannya apakah tindakan-tindakan negatif seperti tidak  sopan, tidak terdidik, kurang ajar, berandalan, berbuat onar, bodoh dan terbelakang harus selalu dianalogikan dengan status wilayah yang bernama kampung?. Rasanya berlebihan dan kebablasan deh penilaian seperti itu.

Kami  adalah salah satu anak kampung yang kebetulan sempat melalang buana ke daerah kota dan kembali menetap di kampung.  Namun di kampung tidak melulu warganya itu berprilaku negatif seperti yang didefenisikan dalam KBBI.  Jika diperdebatkan justru  warga-warga di kampunglah yang masih mencerminkan perilaku budaya nusantara yang tetap terjaga hingga saat ini.  Seperti adat istiadat dan tata budaya, sikap toleransi, budaya gotong royong, tata krama dan sopan santun yang baik, interaksi antar warga dan semangat kekeluargaan yang masih terjaga. Dan mungkin hal-hal seperti teresebut di atas hanya di temui di kampung-kampung ketimbang di kota.


Ya…betul..orang-orang di kampung memang masih jauh dari perkembangan modernisasi ataupun dapat dikatakan masih terebelakang bila dibandingkan dengan kota. Namun tindakan asosial ataupun perilaku negatif tidak harus melulu dianalogikan dengan watak orang kampung.
Terbelakangnya orang kampung menurut kami karena sistem yang belum berkeadilan sosial.  Sistem yang masih timpang dalam memajukan orang-orang kampung.  Mungkin perlu diingat bahwa kota-kota yang ada saat ini awal mulanya berasal dari kampung. 

Benar.. kami memang orang kampung. Namun kami justu bersyukur karena hidup dikampung. Andaikan  modernisasi itu terbangun mulai dari kampung, mungkin pola pikir dan gaya hidup warga kampung pun akan sama dengan gaya hidup dan pola pikir warga kota. Mungkin orang-orang kampug akan bersikap individualis, mungkin juga tidak akan ada lagi interaksi hangat antar sesama warganya, atau bisa juga budaya gotong royong dan semangat kekeluargaan sudah hilang  apalagi rasa peduli sesama dan potensi alamnya sudah hilang ditelan pembangunan. Disitulah yang membuat kami bangga menjadi orang kampung.

Namun patut disayangkan jika kamus Bahasa ibu negara ini saja masih mendiskriminasikan orang kampung. Mungkin penulisnya lupa dan tidak mengetahui kalau semangat gotong royong dan rasa solidaritas di kampung itu cukup tinggi. Bahkan hal tersebut berlaku juga  dengan orang-orang kampung yang kebetulan merantau di perkotaan. Lihatlah paguyuban-paguyuban atau ikatan-ikatan kekeluargaan yang dibentuk oleh orang kampung yang ada diperkotaan. Tujuannya adalah memupuk semangat solidaritas dan kekeluargaan dari sesama orang kampung. 

Ah…andaikan saja tanpa kampung dan  orang-orang kampung sudah tidak mau  bertani ataupun berladang mungkinkah kehidupan di kota akan terpasok  dengan hasil bumi yang berasal dari kampung?. Mungkinkah nilai-nilai budaya masih ada dalam perjalanan peradaban bangsa? .

Sedangkan jika kita mengikuti perkembangan terkini, hampir setiap hari  kita melihat dan mendengar berita kasus korupsi, peredaran narkoba  yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu  lalu  apakah mereka-mereka  itu orang kampung?

Lalu Apakah saya yang dari kampung, lantas dengan sendirinya harus mendapat julukan kampungan?
Disinilah yang perlu dilakukan suatu pemilahan dalam segi pemaknaan antara kampung dan kampungan.  
Yang pertama kampung menunjuk pada sisi geografis atau lokasi dimana seseorang itu  tinggal dengan adat budayanya. Yang kedua “kampungan”  lebih menunjukkan suatu sikap yang “uncivilized” atau “uneducated” yaitu sikap negatif  yang ditunjukan dan tidak mengenal orang itu dari kota maupun dari kampung.
Sehingga dari pemikiran diatas, tindakan negatif yang dilakukan seseorang tidak tepat kalau selalu diidentikan dengan  kampungan hanya berdasarkan geografis.

Saya pun bertanya-tanya  apakah korupsi yang terjadi selama ini adalah bagian dari sikap kampungan? Rasa-rasanya, praktek korupsi itu bukanlah praktek yang beradab, tapi justru jijik dan menjijikan. kalau korupsi itu praktek yang uncivilized, berarti pelaku-pelaku korupsi itu baik di kota maupun di desa, adalah orang-orang yang kampungan banget. Bisa jadi mobil mewah, rumah yang megah, perhiasan mahal  dihasilkan dari mentalitas kampungan mereka.

Dengan kondisi yang demikian mungkin bagi kita orang kampung tidak perlu  bersedih hati hanya karena tinggal di kampung ataupun berasal dari kampung. Harusnya orang kampung  patut berbanggga karena budaya  dan adat istiadat Nusantara masih tetap terjaga dan semuanya  hanya dapat ditemui di kampung-kampung. Kalaupun ada di kota mungkin hanya sebagai simbol untuk diperkenalkan,  dipamerkan atau sebagai sebuah miniatur. 

Maka dari itu bagi kita orang kampung sudah saatnya kita bangkit. Tatalah kampung kita masing-masing dengan baik. Bangunlah jiwa-jiwa entrepreneur untuk para pemuda kampung agar menjadi generasi dengan karaktek yang tegas dan kuat, bukan generasi yang pintar mengeluh. Buatlah Kampung kalian harus bersih sebersih alam yan gmasih hijau. Bangun pula jiwa-jiwa kritis yang tidak mau dibodohi oleh orang-orang yang ngakunya pintar tapi justru membodohi. Belajarlah setingi-tingginya kapanpun dan dimanaupun agar kampung tidak lagi diidentikan  dengan  keterbelakangan. Rawatlah nilai-niali kearifan yang ada dikampung agar tidak punah ditelan zaman. Sehingga yang bisa menjaga dan mengembangkan potensi-potensi yang ada di kampung hanyalah orang-orang kampung. Kalaupun ada orang dari luar kampung mungkin hanya sebagai mediator bukan sebagai subyek dan obyek dari kampung itu sendiri.

OLEH : X-SAN . D

Disadur kembali dari athanua wordpress.com

2 komentar:

  1. Betul na, istilah kampungan itu harus kita ubah ... Orang kampung justru lebih punya tata Krama.

    BalasHapus
  2. Na itu sdh. Apakah yg tdk ber tatakrama itu hny orang kampung atau org yg dri kampung. Kesannya kurang fair

    BalasHapus