Minggu, 02 Desember 2018

BANGGA MENJADI ORANG ENDE



Saya pernah mengalami sebuah peristiwa yang lucu “(maaf ini lucu bagi saya)” ketika mengikuti sebuah kegiatan di salah satu kota di luar NTT. Ceritanya ketika saya memperkenalkan diri dan menyebut asal daerah, tiba-tiba ada peserta yang menyela dan bertanya, “Bang…Ende itu dimana sih”. Sayapun menjawab, “tanya di empu google aja bro, pasti nanti anda ketemu kalau Ende itu ada di Manila tetangga-an sama madagaskar”. He…he…Haloooo….hari gini tak tahu letak sebuah daerah. Sedangkan kami yang sekolah udik dari SD kelas 3 sudah disuruh sama guru untuk menghafal nama-nama kota dan letaknya di Propinsi Mana. He..he..,Maaf  sekedar intermeso.

Pernahkah anda ke Ende dan bagaimana tanggapan anda tentang Kabupaten Ende? Tentu akan ada ragam jawaban dari pembaca sekalian tentang Kabupaten Ende baik yang sudah pernah maupun yang belum pernah ke Ende.

Nah bagi yang pernah ke ende, mungkin saja akan memiliki penilaian tersendiri entah dari segi alamnya, kulinernya, budaya, adat istiadat dan lain sebagainya. Ya.. semuanya sangat tergantung dari penilaian masing-masing dari apa yang dialami dan apa yang dirasakan.

Tapi kali ini saya tidak menggambarkan tentang  bentang  alam dan keindahannya ataupun nikmatnya kuliner Ende. Saya mencoba mengungkapkan rasa bangga sebagai seorang warga yang kebetulan lahir, besar dan hidup di Ende. Rasa bangga akan kehidupan sosial masyarakat yang rukun, damai, menjunjung tinggi toleransi dan semangat kekeluargaan.

Ya.., disinilah yang mungkin sedikit membedakan daerahku dengan beberapa daerah-daerah lain yang acap kali terlihat dan terdengar gesekan-gesekan karena perbedaan keyakinan beragama.
Tak perlu kita memberikan contoh kasus ataupun menyebut satu persatu tentang masalah-masalah bangsa yang dikarenakan perbedaan  dalam kehidupan beragama. Sudah banyak dan bukan rahasia umum tentang kasus-kasus dalam kehidupan beragama yang bisa merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Toleransi yang diakronimkan 
oleh Kementrian Agama Kab. Ende 
sebagai  ”Tekad Orang Lio Ende 
Rukun Aman Nyaman Sejahtera Iklas”.

Jika mengikuti perkembangan pada media massa ataupun media sosial, apabila  ada postingan atau berita yang berkaitan dengan kasus-kasus keagamaan sangat nampak statement-statement pro kontra dan bahkan terkesan provokasi. Perang opini pada dunia maya saling bersahutan dan masing-masing mempertahankan statmennya. Meskipun dipihak lain ada nitizen yang berusaha menjadi penengah.  Namun bukan tidak mungkin pada dunia nyata statement-statement yang berkaitan dengan sentimen agama dapat memperkeruh suasana kehidupan masyarakat pada suatu wilayah.

Saya coba membayangkan fenomena tersebut seandainya terjadi pada daerah kami di NTT dan bumi kelimutu (Ende) khususnya. Entah seperti apa nantinya ketika mendeskripsikan kondisi masyarakatnya. Masyarakat yang selalu menjaga kerukunan dan toleransi yang bukan karena slogan dari pemerintah, masyarakat yang selalu menjunjung tinggi adat istiadat dan kebersamaan,  mungkinkah  dapat tercerai berai hanya karena ego dan sentiment semata?

Dengan melihat fenomena demikian muncul pertanyaan-pertanyaan, Apakah dalam satu komunitas masyarakat yang berbeda keyakinan harus saling bunuh membunuh? Apakah dalam satu keluarga yang seketurunan, saudara sekandung, om, tanta, ponakan, kemenakan, bibi, paman,  sahabat dan kenalan harus saling menjustice dan mengenyahkan anggota keluarga yang berbeda keyakinan?.
Ah…Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin hanya sekedar kekhawatiran di alam mimpi dan  semoga tidak dibawa pada alam nyata orang Ende khususnya.

Ya..Ende, daerah  pencil yang dulunya sempat menjadi lokasi pembuangan dan  permenungan Sang Proklamator dalam mendesain ideologi Negara. Daerah yang tidak pernah dibayangkan oleh Soekarno saat itu sebagai daerah yang sudah majemuk. Dan disinilah keunggulan Ende yang dapat dikatakan sebagai cerminan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


Sebuah kekayaan lokal  yang mungkin sedikit berbeda dengan daerah lain. 
Jauh sebelum agama-agama Ibrahimiah masuk ke negeri ini orang Ende sudah memiliki ideologi lokal yang sama tentang keyakinan ilahiah yang disebut Du’A Ngga’E (Tuhan).  Du’A Ngga’E sebagai rasa religiositas lokal dan pengakuan akan adanya wujud Ilahiah yang menguasai jagat raya yaitu Tuhan. Tuhan Yang dalam penuturan adat  dengan istilah Du’A Gheta Lulu Wula, Ngga’E Ghale Wena Tana (Tuhan Yang menguasai langit dan bumi).

Sehingga ketika hadirnya agama-agama di Ende, masyarakat Ende sudah memiliki semangat dan nilai Ketuhanan yang sama dalam ikatan adat istiadat yang sudah menjadi konsensus secara alamiah. Walaupun dalam praktek dan ajarannya berbeda namun persaudaraan itu yang harus diutamakan. Hubungan kawin mawin, silsilah dan tradisi kekerabatan tidak hilang dan lenyap karena keyakinan agama. Sehingga perbedaan keyakinan beragama  tidak menjadi sebuah jurang pemisah dalam kehidupan bermasyarakat dan relasi sosial.

Realita  tersebut bukanlah kondisi yang diciptakan saat ini atau dibuat karena kebijakan suatu pemerintahan namun itu adalah warisan budi dan daya yang sudah ada sejak zaman nenek moyang orang Ende.
Inilah kekuatan orang ende yang juga tidak memandang seseorang karena agamanya atau karena asalnya sebagai ata mai (pendatang) dan ata mera (warga asli).

Disinilah kharismanya alam Ende sebagai miniatur kehidupan bangsa yang majemuk dan mengilhamkan Presiden Bungkarno untuk mendesain ideologi Bangsa ini. Dalam satu klan, dalam satu keluarga besar ataupun dalam satu hunian bisa berbeda keyakinan. Namun relasi antar sesama tetap rukun dan damai.

Tak heran jika di Ende Soekarno belajar dan mempertajam naluri kemanusiaannya tentang perbedaan dalam hidup dan kehidupan dan menjadi sebuah legenda bangsa. Inilah yang menjadi kebanggaan bagi orang Ende.
Soekarno-pun ketika melakukan kunjungannya ke Ende tahun 1952 merasa dirinya orang Ende dengan ungkapannya saat itu “Ja’o Ata Ende”! (Saya orang Ende)!". Begitu pekik pembuka nan lantang dari Bung Karno saat melawat ke Ende sebagai Presiden RI, tahun 1952.

Sehingga ketika kami mengatakan kami bangga karena berbeda, ya itulah kami orang ende..dimanapun kami berada, kami selalu menjunjung tinggi semangat kekeluargaan dan persaudaraan. Semangat yang tidak dapat dinilai dengan materi ataupun harta benda tapi semangat karena sebagai sesama makhluk Tuhan yang lahir dari mani dan rahim yang sama yaitu Adam dan Hawa.

Maka dari itu bukan sekedar ikut-ikutan ketika Pemerintah Kabupaten Ende menjadikan kota Ende sebagai kota Toleransi.  Bukan hanya sekedar slogan semata ataupun bukan sebagai hal yang berbau ikonik. Toleransi yang diakronimkan oleh Kementrian Agama Kab. Ende sebagai ”Tekad Orang Lio Ende Rukun Aman Nyaman Sejahtera Iklas”.  Slogan yang bukan hanya indahnya rangkain kata dalam suatu kalimat, tapi dalam diri orang Ende, terpatri tekad yang kuat untuk hidup dengan rukun sekalipun di tengah perbedaan.

SAYA BANGGA MENJADI ORANG ENDE.


OLEH : X-SAN D. 

5 komentar:

  1. Indah, semoga selalu indah :) persaudaraan yang saling menghormati perbedaan

    BalasHapus
  2. Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya. Demikianlah kehidupan sosial masyarakat di Ende Flores.

    BalasHapus
  3. Ulasannya inspiratif dan menarik. Teruslah berkarya teman! Karena menulis adalah karya untuk keabadian.

    BalasHapus